Banjar, 30 Oktober 2025 – Transformasi digital dalam pelayanan publik seharusnya memangkas birokrasi dan menutup celah praktik koruptif. Namun, realita di Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) SIM Polres Banjar berkata lain. Di balik layar sistem online, praktik percaloan Surat Izin Mengemudi (SIM) justru semakin menggurita, membuat warga yang taat prosedur merasa diperdaya dan terpaksa menelan pil pahit “jalur belakang” demi SIM C dan A.
Seorang warga yang berjuang mengurus SIM secara mandiri mengungkapkan, antrean dan proses berbelit seolah menjadi tembok penghalang yang sengaja dibangun.
Ironisnya, mereka yang datang melalui calo justru mendapatkan privilege—dilayani bak raja tanpa hambatan. “Seperti ada diskriminasi, yang jujur malah dipersulit,” keluhnya.
Bak drama sinetron, seorang pemohon bernama KT tertangkap basah sedang tawar-menawar dengan calo untuk mendapatkan SIM A. Harga yang dipatok? Fantastis, Rp 900.000! Jauh dari tarif resmi yang seharusnya. Ini bukan lagi sekadar pungutan liar, tapi praktik pemerasan yang terang-terangan.
Pertanyaannya, mengapa digitalisasi yang digadang-gadang sebagai solusi justru gagal menekan praktik percaloan? Mungkinkah sistem online itu sendiri yang cacat, atau justru ada oknum internal yang bermain mata dengan para calo?
Masyarakat Banjar menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pihak kepolisian. Bukan hanya sekadar menangkap calo kelas teri, tapi membongkar sindikat percaloan yang lebih besar dan menyeret semua oknum yang terlibat ke meja hijau. Jika tidak, digitalisasi hanyalah lip service, dan masyarakat akan terus menjadi sapi perah para calo yang tak tahu malu.
Sudah saatnya revolusi mental di tubuh Polri. SIM adalah hak, bukan barang dagangan. Berantas percaloan, tegakkan keadilan, dan kembalikan kepercayaan masyarakat!














