Dinastinews.com -Kalimantan Barat . Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, menyoroti tajam carut-marut persoalan pertanahan yang hingga kini belum juga menemukan titik terang.
Menurutnya, fenomena sertifikat ganda dan tumpang tindih lahan bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bentuk nyata dari kerusakan sistemik di tubuh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Semua tanah yang sudah bersertifikat pasti tercatat dan terdokumentasi di kantor pertanahan. Setiap jengkal tanah yang bersertifikat memiliki warkah tanah. Sertifikat dipegang pemilik, sementara warkahnya berada di BPN. Jadi, tidak masuk akal jika ada lebih dari satu sertifikat atas sebidang tanah yang sama,” tegas Herman, Senin, 10 November 2025
Ia menilai, jika terjadi sertifikat ganda, maka jelas ada ketidakberesan dalam proses penerbitan di internal BPN. Namun yang lebih memprihatinkan, lanjutnya, ketika masyarakat menggugat keadilan atas kejanggalan itu, BPN justru cuci tangan dan menyarankan warga “menggugat saja ke pengadilan.”
“Padahal sertifikat itu produk BPN. Ketika terjadi kekeliruan atau manipulasi, seharusnya BPN bertanggung jawab. Bukan malah melempar masalah ke pengadilan dan membiarkan rakyat berjuang sendiri,” ujarnya geram.
Rakyat Kecil Jadi Korban, Negara Absen Memberi Perlindungan
Dr. Herman menilai, sikap abai BPN dan lemahnya penegakan hukum membuat masyarakat kecil semakin termarjinalkan. Mereka yang tidak memiliki akses kekuasaan maupun finansial terpaksa menanggung ketidakpastian hukum atas lahan miliknya sendiri.
“Lihat saja, tidak ada satu pun kepala daerah yang berani menindak mafia tanah, apalagi jika bersinggungan dengan perusahaan besar. Rakyat kecil dizalimi, tanah mereka dirampas, sementara negara diam,” katanya.
Ia menuding lemahnya keberpihakan pemerintah daerah dan aparat hukum membuat keadilan hanya berpihak pada yang berkuasa. “Masyarakat mau lapor ke mana? Polisi? Kejaksaan? Tidak ada kasus mafia tanah besar yang benar-benar diselesaikan, terutama yang melibatkan perusahaan sawit atau tambang,” tambahnya.
Menurutnya, tim pemberantasan mafia tanah yang digadang-gadang oleh kepolisian dan kejaksaan hanya sebatas formalitas. “Hanya aksesori birokrasi, tidak menyentuh akar masalah. Mungkin benar, rakyat akhirnya hanya bisa melapor kepada Tuhan,” ujarnya sarkastis.
Permainan Busuk di Balik Sertifikat Ganda
Dr. Herman juga mengungkapkan bahwa praktik penerbitan sertifikat ganda sering melibatkan oknum yang memiliki pengetahuan dan kekuasaan di bidang pertanahan. Mulai dari aparat pemerintahan, pejabat pertanahan, hingga oknum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau notaris.
“Ada indikasi kuat keterlibatan oknum PPAT dan notaris dalam penerbitan akta-akta yang memungkinkan kepemilikan tanah berpindah tangan. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi permainan yang terstruktur,” jelasnya.
Fenomena ini, kata Herman, mengancam kedaulatan hukum dan merusak rasa keadilan publik. Ia mengingatkan, jika praktik semacam ini dibiarkan, maka kepercayaan rakyat terhadap negara akan runtuh.
Seruan untuk Jaksa Agung dan Kapolri: Jangan Biarkan Semangat Hanya di Atas Kertas
Herman mengapresiasi langkah Jaksa Agung ST Burhanuddin yang berkomitmen menghentikan praktik kotor dalam penguasaan tanah, serta pernyataan Kapolri untuk memberantas mafia tanah. Namun ia menilai semangat itu tak sampai ke level daerah.
“Jaksa Agung sudah keluarkan Surat Edaran Nomor 16 Tahun 2021. Kapolri juga bentuk Satgas Mafia Tanah. Tapi kalau jajaran di bawahnya tidak serius menjerat pelaku, semua itu hanya jargon kosong,” kata Herman.
Lebih ironis lagi, lanjutnya, jika aparat di daerah justru berpihak pada mafia tanah alih-alih membela rakyat. “Ingat, sekecil apa pun kejahatan yang membuat orang lain menangis, tangisan itu akan kembali pada diri dan keluarga pelakunya,” pungkasnya.
Sumber : Dr.Herman Hofi Munawar, SH
Editor/Gun*














