RajaBackLink.com

Penangkapan Terpidana Kasus “Mafia Tanah” Di Duga Cacat Hukum

Penangkapan Terpidana Kasus “Mafia Tanah” Di Duga Cacat Hukum

Beritapantau.online | Bekasi – Penangkapan yang dilakukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Cikarang, Kabupaten Bekasi terhadap Edy Jahrudin (60) yang disebut-sebut sebagai “buronan mafia tanah” di Kampung Garon, Desa Setialaksana, Kecamatan Cabang Bungin, Kabupaten Bekasi baru-baru ini disayangkan oleh kuasa hukumnya karena selain bukan buronan mafia tanah, permasalahan hukum yang mendera kliennya adalah terkait penggunaan surat

palsu dan bahkan mirisnya lagi Edy Jahrudin (EJ) belum menerima salinan atau pemberitahuan isi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan
pasti.

Hal senada diamini oleh praktisi hukum Taruli Simanjuntak SH, MH. Advokat yang pernah menjadi salah seorang kuasa hukum dari tokoh pemuda Hercules Rosario
Marshaal (2013) ini mengatakan “yang namanya putusan pengadilan itu memiliki petikan dan salinan, dan satu hal lagi putusan pengadilan bersifat pengumuman atau pemberitahuan. Lihat Pasal 1 angka 11, Pasal 226 ayat (1) dan (2). Petikan putusan
adalah hak terdakwa yang diberikan segera setelah putusan diucapkan.

Salinan putusan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan. Artinya, baik petikan, salinan maupun pemberitahuan isi putusan pengadilan merupakan hak terdakwa/ terpidana karena berkaitan dengan upaya hukum lainnya” jelas Taruli Simanjuntak di tengah obrolan
santai di kantornya di kawasan Pondok Kepala Jakarta Timur.

“Harap diingat, jangankan penjatuhan putusan pidana di mahkamah agung atau pengadilan tinggi yang tidak dihadiri oleh terdakwa dan penuntut umum. Di pengadilan negeri saja, ada kalanya penjatuhan putusan pidana dilakukan tanpa hadirnya terdakwa dan penuntut umum. Nah, oleh karena tidak dihadiri oleh terdakwa dan penuntut umum, maka perlulah isi putusan dimaksud diberitahukan. Tujuannya apa? Agar supaya terdakwa atau penuntut umum mengetahui isi putusan yang sebenarnya sehingga akan melakukan upaya hukum atau tidak. Ini sesuai dengan nafas kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) khususnya Pasal 226 (1,2) Pasal 233 ayat (2), Pasal 243 (1, 2), Pasal 245 (1, 2), dan Pasal 257”, terangnya sembari mengajukan pertanyaan,
jika pengadilan negeri memutus perkara di luar hadirnya terdakwa atau jika perkara diperiksa pada tingkat banding atau kasasi, dan terdakwa belum menerima
pemberitahuan isi putusan, darimanakah terdakwa tahu bila dirinya dinyatakan terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana atau tidak?

Telah ramai diberitakan berbagai media, Kejari Cikarang telah mengeksekusi EJ terpidana kasus pemalsuan surat dengan objek perkara tanah, padadhal EJ belum
menerima salinan putusan atau pemberitahuan isi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. “Jika benar jaksa mengeksekusi terpidana sedangkan terpidana belum menerima pemberitahuan isi putusan atau salinan putusan, hemat saya, ini merupakan pelanggaran hukum dan sebaiknya terpidana atau keluarganya melaporkan jaksa yang bersangkutan kepada polri dengan sangkaan perampasan kemerdekaan atau mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum”, tegas Taruli Simanjuntak.

Ditanya mengenai adanya Surat Panggilan Eksekusi yang sebelumnya telah dilayangkan Kejari Cikarang kepada dan terpidana EJ tidak memenuhinya, menurut Taruli, “Loh apa dasar hukum Kejari Cikarang memanggil EJ untuk dieksekusi, lah wong EJ belum menerima pemberitahuan isi putusan atau salinan putusan. Terkecuali, pemberitahuan isi putusan atau salinan putusan telah diterima EJ, dan kemudian jaksa melakukan
panggilan eksekusi secara patut akan tetapi EJ tidak memenuhinya, maka cukup beralasan bilamana EJ ditangkap untuk dieksekusi”,

terangnya sembari menyarankan agar terpidana EJ atau keluarganya segera melakukan upaya hukum dengan melaporkan jaksa yang bersangkutan kepada polri dengan dugaan perampasan kemerdekaan atau mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di pengadilan.

Mengakhiri perbincangan, kepada praktisi hukum ini juga diminta tanggapannya terkait sebutan „mafia tanah‟. “Saya kebetulan, belum menemukan sebuah ketentuan hukum atau putusan pengadilan yang secara terang benderang menyebut tentang mafia tanah.

Tetapi, jika insan pers atau penegak hukum lain terus menerus menyematkan sebutan
itu terhadap terduga atau terpidana terkait kasus tanah, iya itu hak mereka. Sekedar saran saja, para penegak hukum sebaiknya berhati-hati menggunakan sebutan bagi
terduga atau terpidana kasus tanah, agar tidak membingungkan masyarakat” pungkasnya

*red*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *