RajaBackLink.com
Berita  

‎API Meminta Pemerintah Lebih Intensif Negosiasi Tarif Ekspor ke US Untuk Produk Manufacture Padat Karya

‎API Meminta Pemerintah Lebih Intensif Negosiasi Tarif Ekspor ke US Untuk Produk Manufacture Padat Karya

Dinastinews.com Jakarta — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta agar Menteri Koordinator Perekonomian memperjuangkan nasib industri padat karya, melalui penurunan tarif ekspor ke US.

‎Asosiasi Pertekstilan Indonesia menanggapi kabar dari Kementerian Koordinator Perekonomian telah hampir merampungkan perjanjian tarif resiprokal Indonesia dan USA, yang pada intinya disampaikan bahwa tarif nol persen diberlakukan hanya pada komoditas sumber daya alam berbasis tropis (tropical based natural resources).

‎Produk manufaktur seperti tekstil, akan tetap dikenai tarif resiprokal 19 persen.
‎Asosiasi merasa perlu menyampaikan pesan kepada Pemerintah Indonesia, mumpung saat ini detail teknis masih dalam tahap finalisasi, sehingga masih ada waktu untuk menyampaikan urgensi kepentingan industri padat karya Indonesia.

‎Jemmy Kartiwa, Ketua Umum API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) mengatakan bahwa, “Pemerintah hadir untuk melindungi kepentingan masyarakatnya, termasuk keberlangsungan dunia usaha, karena didalamnya terdapat jutaan pekerja dan keluarga yang harus dilindungi.

‎Maka, sebaiknya tidak hanya pada sektor komoditas agro saja, industri manufacture produk garmen dan tekstil juga perlu diupayakan agar mendapatkan tarif nol persen atau lebih rendah daripada 19% yang saat ini masih menjadi tarif acuan.

‎”Di era Presiden Prabowo, tata kelola industri padat karya di negara kita ini sedang berproses menuju perbaikan. Pasar ekspor ke US yang saat ini menjadi pasar ekspor terbesar dari produk produk garmen dan tekstil Indonesia, musti mendapatkan atensi lebih serius. Ini soal hidup matinya jutaan pekerja disektor padat karya”, Jemmy menambahkan.

‎Sebagaimana diketahui umum, bahwa Indonesia berada dalam kompetisi besar di antara negara negara produsen garment dan tekstil.

‎Tarif impor Amerika Serikat (AS) untuk produk garment dan tekstil asal Indonesia saat ini di angka 19%, sementara Cambodia 19%, Malaysia 19%, Thailand 19%, Vietnam 20%, Laos 40% dan Myammar 40%.

‎”Meskipun diatas kertas, tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Trump kepada Indonesia nampaknya lebih rendah, namun bila dikombinasikan dengan biaya-biaya lain termasuk biaya logistik, tarif gas, biaya kenaikan upah pekerja dan suku bunga kredit dari
‎perbankan kita, maka Indonesia masih menghadapi indeks kemahalan yang lebih besar dibandingkan dengan negara negara pesaing tersebut.

‎China dan India adalah contoh negara yang sangat kuat industri padat karyanya, karena salah satunya adalah kebijakan suku bunga kredit perbankan yang rendah.

‎Jemmy Kartiwa tetap memohon agar Pemerintah masih memperjuangkan agar tarif produk sektor padat karya, garment dan tekstil bisa lebih rendah lagi.

‎”Pembahasan lanjutan mengenai tarif ekspor ke US itu sangat penting sebelum perjanjian ditandatangani, karena saat ini Indonesia melalui API sedang berproses mengupayakan kenaikan kapasitas impor US Cotton melalui skema kerja sama imbal balik”.

‎Kita impor lebih banyak US Cotton dari US dan untuk itu produk-produk garment dan tekstil berbahan baku US Cotton untuk eksport ke US diharapkan akan mendapatkan tarif nol persen, atau lebih rendah dari 19%.

‎Skema ini akan memberikan kemanfaatan lebih besar pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan kenaikan pendapatan negara dari pajak, serta kemampuan untuk mempertahankan jutaan pekerja di sektor garmen dan tekstil.

‎”Kami benar benar berharap Presiden Prabowo dan Menko Perekonomian memberikan atensi penuh terkait negosiasi tarif. Ini bukan demi kami sebagai pengusaha, tetapi sebagai bentuk keberpihakan negara kepada dunia usaha sektor padat karya, ada jutaan pekerja yang hidup dari sektor padat karya”, Demikian Jemmy Kartiwa menyampaikan.

‎(Hera)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *