Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan penanaman modal asing (PT PMA) di Indonesia beroperasi di bawah lanskap perpajakan yang semakin berbasis data dan analisis risiko. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak lagi mengandalkan pendekatan acak dalam pemeriksaan, melainkan memanfaatkan sistem Compliance Risk Management (CRM), integrasi data lintas instansi, serta pelaporan digital yang semakin rinci. Bagi investor asing, perubahan ini menggeser audit pajak dari peristiwa yang jarang terjadi menjadi risiko kepatuhan yang perlu dikelola secara strategis.
Penting untuk dipahami bahwa audit pajak di Indonesia bukanlah hukuman, melainkan instrumen pengawasan. Namun, bagi PT PMA yang umumnya memiliki transaksi lintas negara, struktur grup, dan pola pembiayaan yang lebih kompleks, probabilitas untuk masuk radar pemeriksaan memang lebih tinggi. Hal ini bukan semata karena status asing, melainkan karena karakteristik bisnis yang secara alami membawa indikator risiko tertentu.
Salah satu pemicu paling konsisten adalah permohonan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan ketentuan yang berlaku, setiap klaim pengembalian PPN melalui mekanisme restitusi reguler wajib diaudit sebelum dana dikembalikan. Bagi PT PMA di sektor manufaktur, ekspor, atau industri dengan impor tinggi, kondisi kelebihan PPN masukan adalah hal yang lazim. Namun, audit dalam konteks ini bersifat prosedural, bukan karena dugaan pelanggaran. Meski demikian, temuan administratif kecil—seperti ketidaksesuaian faktur pajak atau perbedaan periode pelaporan—dapat berujung pada penyesuaian atau penundaan restitusi.
Di luar PPN, isu transfer pricing menjadi area pengawasan yang semakin dominan. Transaksi dengan pihak afiliasi, baik dalam bentuk penjualan barang, jasa manajemen, royalti, maupun pembiayaan intra-grup, menuntut pembuktian bahwa harga yang digunakan mencerminkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle). DJP secara aktif membandingkan margin dan rasio keuangan PT PMA dengan tolok ukur industri. Ketika perusahaan menunjukkan pola kerugian berulang atau margin yang menyimpang signifikan tanpa justifikasi yang kuat, risiko audit meningkat secara substansial.
Dokumentasi transfer pricing berperan krusial dalam konteks ini. Ketiadaan atau keterlambatan penyusunan Master File dan Local File sering kali dipandang sebagai sinyal lemahnya tata kelola pajak. Bahkan ketika transaksi sebenarnya wajar secara komersial, kegagalan mendokumentasikannya dengan benar dapat membuka pintu pemeriksaan lebih mendalam.
Aspek lain yang kerap memicu perhatian adalah ketidaksesuaian antara laporan keuangan dan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak. Selisih besar antara laba akuntansi dan laba fiskal bukanlah hal terlarang, tetapi memerlukan rekonsiliasi yang jelas dan terdokumentasi. Dalam sistem DJP yang semakin terintegrasi, perbedaan tanpa penjelasan memadai mudah terdeteksi dan dikategorikan sebagai anomali risiko.
Tidak kalah penting adalah kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak. PT PMA umumnya berhadapan dengan PPh Pasal 21, 23, dan 26, terutama terkait gaji ekspatriat, jasa pihak ketiga, serta pembayaran ke luar negeri. Kesalahan klasifikasi objek pajak, tarif, atau ketepatan waktu setor sering kali menjadi pintu masuk audit, karena DJP dapat mencocokkan data pemotongan dengan laporan pihak lain dan transaksi lintas batas.
Dalam banyak kasus, proses audit diawali dengan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan). Surat ini bukan audit, tetapi permintaan klarifikasi. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa respons yang tidak lengkap, terlambat, atau defensif justru meningkatkan kemungkinan pemeriksaan formal. Dengan jangka waktu klarifikasi yang terbatas dan cakupan tahun pajak hingga lima tahun ke belakang, SP2DK seharusnya diperlakukan sebagai peringatan awal yang serius.
Audit juga kerap muncul dalam momen-momen korporasi strategis, seperti merger, akuisisi, restrukturisasi, atau likuidasi. Dalam konteks ini, DJP berkepentingan memastikan seluruh kewajiban pajak telah diselesaikan sebelum perubahan struktur atau penutupan entitas. Bagi investor, hal ini menegaskan bahwa kepatuhan pajak bukan hanya isu operasional, tetapi juga faktor penting dalam perencanaan transaksi dan exit strategy.
Melihat pola tersebut, semakin banyak PT PMA mulai memandang kesiapan audit (audit readiness) sebagai bagian dari manajemen risiko. Pendekatan ini menekankan dokumentasi yang rapi, konsistensi pelaporan, serta respons yang terstruktur terhadap permintaan otoritas pajak. Di titik inilah peran penasihat profesional menjadi relevan, bukan untuk “menghindari” audit, tetapi untuk memastikan perusahaan siap menghadapinya.
Dalam praktiknya, konsultan seperti CPT Corporate kerap dirujuk oleh investor asing untuk membantu menilai profil risiko pajak, menyiapkan dokumentasi, dan mendampingi komunikasi dengan otoritas. Pendekatan ini sejalan dengan kebutuhan PT PMA untuk menjaga kepatuhan tanpa mengorbankan fokus pada kegiatan bisnis inti, khususnya dalam konteks layanan perpajakan dan kepatuhan perusahaan yang semakin kompleks.
Ke depan, arah kebijakan DJP menunjukkan bahwa pengawasan berbasis data akan terus diperkuat. Bagi PT PMA, memahami pemicu audit bukan soal mencari celah, melainkan membaca sinyal kebijakan dan menyesuaikan tata kelola internal. Dalam iklim seperti ini, transparansi, dokumentasi, dan kesiapan menjadi aset strategis yang sama pentingnya dengan modal dan pasar.
Artikel ini juga tayang di VRITIMES


