Pelayanan publik di Satuan Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi (SIM) Polres Tasikmalaya Kota kembali tercoreng oleh dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang diperkuat oleh keterangan sejumlah warga.
Mereka mengaku diminta membayar biaya tambahan di luar ketentuan resmi untuk mendapatkan SIM secara instan tanpa melalui prosedur yang seharusnya, termasuk mengikuti ujian teori dan praktik yang menjadi syarat utama penerbitan.
Modus yang digunakan terbilang klasik namun masih marak terjadi. Pemohon SIM diarahkan oleh oknum petugas atau calo untuk membayar sejumlah uang agar bisa mendapatkan SIM tanpa harus melalui tahapan yang ditetapkan.
“Kalau ikut prosedur resmi harus tes, dan belum tentu lulus. Tapi kalau mau cepat, bayar Rp 600 ribu sampai Rp 900 ribu, langsung jadi tanpa tes,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Tidak hanya dari oknum petugas di dalam, calo dari kalangan sipil juga terlihat aktif di sekitar lokasi Satpas.
“Calo dari kalangan sipil juga ada diluar pas mau masuk saya ditanyain mau urus apa, kalau SIM mau dibantu ngga,” tambah warga tersebut.
Kehadiran calo ini semakin memperparah kesan bahwa ada jaringan yang bekerja sama untuk memanfaatkan kebutuhan warga akan layanan cepat dengan cara yang tidak sah.
Perbandingan antara biaya resmi dan biaya yang diminta melalui pungli menunjukkan selisih yang sangat mencolok. Berdasarkan aturan yang berlaku, biaya pembuatan SIM baru termasuk biaya pemeriksaan kesehatan, psikologi, dan retribusi Negara Bagian Pengelolaan Keuangan (PNBP) yang transparan.
Misalnya, untuk SIM C baru, biaya total yang harus dibayar warga sekitar Rp 270 ribu (Rp 70 ribu untuk pemeriksaan kesehatan, Rp 100 ribu untuk pemeriksaan psikologi, dan Rp 100 ribu untuk PNBP). Sedangkan untuk SIM A baru, total biayanya sekitar Rp 290 ribu (Rp 70 ribu kesehatan, Rp 100 ribu psikologi, dan Rp 120 ribu PNBP). Namun, dengan pungli, warga harus membayar dua hingga tiga kali lipat dari biaya resmi tersebut, yang jelas merupakan beban tambahan yang tidak adil.
Praktik pungutan liar ini jelas bertentangan dengan hukum dan dapat dikenai sanksi yang berat, berdasarkan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemerasan, barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyerahkan sesuatu, dihukum paling lama 9 tahun.
Selain itu, pungli juga dapat dikategorikan sebagai korupsi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 E, yang menentukan ancaman pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Untuk petugas kepolisian yang terlibat, sanksinya bisa lebih berat lagi karena mereka juga terikat oleh peraturan disiplin Polri dan kode etik profesi. Seperti yang diungkapkan oleh Kabag Penegakan Hukum (Kapenhum) Kombes Martinus Sitompul, dalam institusi Polri, anggota yang melanggar aturan dapat dikenai sanksi yang berlipat dibandingkan masyarakat sipil, termasuk pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) jika terbukti bersalah.














