Dinasti — Pontianak | KALBAR, (6 Juni 2025). Kasus Intimidasi dan penyanderaan dua orang wartawan yang terjadi pada Jumat, 27 Juni 2025, di Sungai Ayak Dua, Kecamatan Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, kini menuai sorotan publik secara luas. Insiden ini disebut-sebut berkaitan erat dengan aktivitas kelompok yang diduga kuat menjalankan kegiatan Ilegal di kawasan tersebut, dikenal dengan julukan “9 Mafia atau Cukong Besar Sungai Ayak”.
Berdasarkan informasi dari sejumlah sumber terpercaya, dua wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik mereka diduga dipersekusi, diintimidasi, dan disandera selama kurang lebih enam jam oleh sekelompok individu yang disebut sebagai bagian dari jaringan Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah tersebut.
Wartawan tersebut sedang melakukan investigasi terkait aktivitas pertambangan liar, baik Pertambangan Emas yang Ilegal dan Pertambangan lainnya seperti Galian “C” yang dilaporkan semakin marak dan meresahkan warga di Wilayah Belitang Hilir.
Aksi kekerasan ini diduga dilakukan untuk membungkam pemberitaan serta menghalangi upaya pengungkapan kegiatan Ilegal yang selama ini diduga dibiarkan tanpa penindakan Hukum yang tegas.
Dari hasil konfirmasi kepada narasumber yang identitasnya dirahasiakan demi alasan keamanan, kelompok yang disebut “9 Cukong Besar Sungai Ayak” merupakan jaringan pengusaha lokal yang diduga menjalankan berbagai aktivitas ilegal di kawasan tersebut.
Beberapa di antaranya disebut berperan sebagai pembeli Emas hasil Pertambangan Ilegal, Pengusaha Pertambangan Galian “C” Ilegal, penyedia Bahan Bakar Minyak (BBM) tanpa izin, pelaku perdagangan Minyak Kelapa Sawit (CPO) secara Ilegal, serta pemilik Mesin Jek dan Dompeng yang biasa digunakan dalam proses Pertambangan liar.
Salah satu diantara 9 Nama Cukong Besar yang tertera dalam Surat Pernyataan itu, terdapat satu nama yang tidak asing bagi awak Media. Satu nama tersebut bernama Jumiran yang diduga sudah terbiasa dalam menjalankan Bisnis PETI Ilegal serta memiliki beberapa unit Mesin Penggilingan batu (Glondong) yang cukup lama di wilayah Muran, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang.
Sumber tersebut juga mengungkapkan adanya dugaan kuat bahwa aktivitas kelompok ini telah mendapatkan “perlindungan” dari Oknum Aparat Penegak Hukum (APH) setempat, sehingga kegiatan mereka sulit disentuh oleh Hukum. Hal ini menguatkan dugaan adanya praktik melanggar Hukum atau pembiaran sistematis di lapangan.
Menanggapi kejadian ini, Ketua DPD Yayasan Lembaga Bantuan Hukum LMRRI Kalimantan Barat, Yayat Darmawi, SE, SH, MH, turut mengecam keras tindakan pencatutan nama institusi pers dalam dokumen sepihak tersebut.
Pencantuman nama media tanpa seizin Pimpinan Redaksi adalah cacat hukum. Pelaku bisa dipidana karena telah mencatut nama lembaga secara tidak sah, apalagi dalam konteks tekanan dan intimidasi. Ini bisa masuk ranah pidana umum dan perdata sekaligus,” ujar Yayat.
Hal serupa juga disampaikan oleh Dewan Pimpinan Daerah Aliansi Komunitas Pers Seluruh Indonesia (DPD AKPERSI) yang turut juga mengecam keras tindakan kekerasan terhadap insan pers. Ketua DPD AKPERSI menyatakan bahwa pihaknya akan mengawal kasus ini hingga tuntas dan mendesak Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Polda Kalbar) dan Mabes Polri untuk turun tangan mengusut aktor intelektual di balik jaringan “9 Cukong Besar” tersebut.
“Ini bukan sekadar kasus kriminal biasa. Ini adalah bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan pers dan dugaan adanya mafia yang merusak tatanan hukum di daerah. Kami menuntut agar kasus ini ditangani serius oleh Mabes Polri,” tegas perwakilan DPD AKPERSI dalam pernyataan tertulis.
Selain itu, DPD AKPERSI juga mendesak agar Kapolsek Belitang Hilir segera dicopot dari jabatannya. Mereka menilai aparat kepolisian setempat telah gagal melakukan penindakan terhadap aktivitas PETI yang sudah berlangsung lama dan bahkan diduga menjalin kedekatan dengan para pelaku.
“Kami menilai Kapolsek tidak mampu menegakkan hukum secara profesional. Kesan pembiaran terhadap tambang ilegal sangat kuat, bahkan terlihat seolah menjadi sahabat bagi pelaku kegiatan ilegal,” ujar narasumber DPD AKPERSI.
Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis di daerah, sekaligus membuka tabir persoalan besar yang selama ini dianggap sebagai rahasia umum — yakni keberadaan kelompok pengusaha hitam yang beroperasi tanpa takut hukum. Publik kini menantikan langkah nyata dari institusi penegak hukum untuk membuktikan komitmen mereka terhadap supremasi hukum dan kebebasan pers di Indonesia.
Jika ada Pihak yang merasa dirugikan oleh Pemberitaan ini dan ingin memberikan klarifikasi atau hak jawab, Media dengan senang hati akan merespon dan menindaklanjuti.
Editor : DNC // TIMRED [*]