RajaBackLink.com

Mantan Gubernur dalam Pusaran Korupsi Pengadaan Tanah Bank Kalbar: Peran, Kewenangan, dan Tuntutan Penegakan Hukum

Mantan Gubernur dalam Pusaran Korupsi Pengadaan Tanah Bank Kalbar: Peran, Kewenangan, dan Tuntutan Penegakan Hukum

Dinastinews.com – Pontianak | KALBAR, (20/06/2025). Sorotan publik kembali mengarah pada proyek pengadaan tanah untuk operasional Bank Kalimantan Barat (Bank Kalbar) tahun 2016, yang kini telah memasuki tahap litigasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pontianak. Namun, perhatian bukan hanya tertuju pada terdakwa yang sudah diseret ke meja hijau, melainkan juga pada peran aktor intelektual di balik kebijakan dan alokasi anggaran yang dianggap turut meloloskan praktik korupsi tersebut, yakni Gubernur Kalbar saat itu sebagai pemegang saham mayoritas Bank Kalbar.

Sebagai Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Kalbar dimiliki sebagian besar oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, bersama sejumlah kabupaten/kota di wilayah tersebut dan sebagian kecil dimiliki oleh swasta. Sebagaimana diatur dalam peraturan perbankan nasional, Gubernur sebagai Kepala Daerah berperan penting dalam pengelolaan BPD, termasuk dalam pengambilan kebijakan strategis, permodalan, dan perluasan aset maupun jaringan layanan bank.

Dalam konteks pengadaan tanah yang kini dipermasalahkan secara hukum, Gubernur saat itu selaku pemilik saham terbesar dan penentu arah kebijakan strategis Bank Kalbar, diduga memiliki peran signifikan dalam menyetujui atau memberikan restu terhadap alokasi anggaran untuk proyek tersebut. Hal ini disampaikan secara tegas oleh Yayat Darmawi, S.E., S.H., M.H., Koordinator Nasional Lembaga TINDAK (Transparansi Independen Anti-Korupsi), yang menyebut bahwa seharusnya proses hukum menyasar seluruh rangkaian pelaku, tidak hanya terbatas pada pihak-pihak teknis pelaksana.

“Sangat disayangkan, sampai saat ini proses hukum hanya berhenti pada pelaksana teknis di lapangan. Padahal dalam konstruksi hukum, pelaku utama atau aktor intelektual juga harus dimintai pertanggungjawaban. Termasuk Gubernur saat itu yang memiliki kewenangan sentral sebagai pemilik saham terbesar dan pengambil kebijakan strategis di Bank Kalbar,” ujar Yayat kepada media.

Menurut Yayat, peran Gubernur dalam korupsi tersebut tidak bisa dilepaskan dari unsur Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur mengenai penyertaan dalam tindak pidana, baik sebagai pelaku maupun pemberi perintah atau pembantu kejahatan. Dengan demikian, secara yuridis, Yayat menegaskan bahwa sang Gubernur dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti memberikan persetujuan atau mengetahui alokasi dana yang bermasalah tersebut.

“Jangan sampai hukum terkesan tebang pilih. Apalagi bila ada indikasi tekanan terhadap Aparat Penegak Hukum (APH) agar tidak menyentuh aktor besar. Ini tidak hanya merusak prinsip keadilan, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum,” imbuhnya.

Yayat juga mengkritik keras model penanganan kasus korupsi yang dilakukan secara “split” atau terpisah, hanya menyasar level bawah dan tidak menyentuh pengambil kebijakan. Ia menegaskan bahwa dalam perkara berjamaah seperti ini, pemisahan tanggung jawab hukum (split prosecution) seharusnya dihindari demi asas due process of law dan prinsip equality before the law.

Sebagai informasi, pengadaan lahan Bank Kalbar tahun 2016 diduga merugikan negara hingga miliaran rupiah. Sejumlah pejabat pelaksana dan pihak ketiga telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan sejak pertengahan 2025. Namun, desakan agar kasus ini dikembangkan ke arah pejabat pemilik kewenangan tertinggi di daerah terus menguat, termasuk dari kalangan akademisi, aktivis antikorupsi, dan masyarakat sipil Kalbar.

Yayat dan Lembaga TINDAK mendorong Kejaksaan Tinggi Kalbar dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut terlibat dalam pengembangan kasus ini secara lebih menyeluruh dan transparan.

“Kita ingin hukum ditegakkan bukan hanya kepada yang lemah, tetapi juga kepada yang kuat. Jika ada kepala daerah yang terbukti menyalahgunakan kewenangan atau lalai mengawasi dana publik, maka sudah seharusnya diproses sesuai hukum yang berlaku,” pungkas Yayat.

Editor : Melangga Arista // TIMRED [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *