Dinastinews. Com
Muara Tebo 02/03/2025
Kelangkaan gas elpiji 3 kg kembali menghantui masyarakat di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Sejumlah warga mengeluhkan sulitnya mendapatkan gas bersubsidi tersebut, yang menyebabkan aktivitas rumah tangga dan usaha kecil terganggu. Situasi ini semakin parah dengan melonjaknya harga akibat permainan spekulan
Kelangkaan ini terjadi di beberapa Kecamatan, termasuk Rimbo Bujang, Rimbo Ilir, Tebo Tengah, dan Muara Tabir. Warga harus antre berjam-jam di pangkalan resmi, namun tetap tidak mendapat jatah. Sebagian lainnya terpaksa membeli di pengecer dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah.
Salah satu warga di Kecamatan Tebo Tengah mengaku harus membayar Rp 35.000 hingga Rp 40.000 per tabung, padahal HET yang ditetapkan Pemerintah hanya Rp 18.000 – Rp 20.000. “Sudah mahal, susah pula didapat. Kalau begini terus, kami kesulitan memasak,” keluhnya.
Tidak hanya rumah tangga, para pelaku usaha kecil seperti pedagang makanan dan warung nasi juga terkena dampak. Marlina (37), pemilik warung makan di Kecamatan Tebo Tengah, mengatakan bahwa kenaikan harga gas mempengaruhi biaya produksi. “Kalau harga gas naik, mau tidak mau harga makanan juga naik. Tapi kalau dinaikkan, pelanggan banyak yang protes,” ujarnya.
Beberapa warga menduga kelangkaan ini disebabkan oleh adanya distribusi yang tidak merata serta praktik penimbunan oleh oknum yang ingin mengambil keuntungan. Selain itu, meningkatnya permintaan gas elpiji 3 kg menjelang Ramadan juga menjadi faktor yang memperparah situasi.
Sementara itu, Pertamina menyatakan bahwa pasokan gas elpiji 3 kg ke Kabupaten Tebo masih dalam jumlah normal. Namun, mereka mengimbau masyarakat untuk tidak membeli dalam jumlah berlebihan agar distribusi tetap merata. “Kami juga meminta Pemerintah daerah memperketat pengawasan di tingkat pangkalan dan agen,” kata perwakilan Pertamina.
Di sisi lain, sejumlah aktivis dan organisasi masyarakat mendesak Pemerintah untuk mempercepat solusi konkret. Mereka menyarankan agar dilakukan operasi pasar dan distribusi langsung ke masyarakat guna menghindari permainan harga oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, ada wacana untuk mendorong masyarakat beralih ke gas non-subsidi sebagai solusi jangka panjang. Namun, banyak warga yang menolak karena harga gas non-subsidi seperti Bright Gas jauh lebih mahal dibandingkan dengan elpiji 3 kg.
Dampak dari kelangkaan ini tidak hanya dirasakan di dapur, tetapi juga secara ekonomi. Jika masalah ini terus berlanjut, daya beli masyarakat bisa menurun, dan usaha kecil semakin tertekan. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret yang cepat dan efektif dari Pemerintah.
Masyarakat berharap agar pihak berwenang segera menyelesaikan persoalan ini dan memastikan distribusi gas bersubsidi tepat sasaran. Jika tidak ada tindakan nyata, kelangkaan gas elpiji akan terus menjadi momok menakutkan bagi warga Kabupaten Tebo.(Qomarudin)